dakwatuna.com –
Suatu hari, ia datang dengan muka marah, dada sempit, seakan isinya terpenuhi oleh bara api dan ia hendak menyemburkannya keluar sekaligus.
Aku katakan kepadanya: “Insya Allah Antum baik-baik saja!”
Ia menjawab: “Kalau saja aku tidak pernah menikah!!! Niscaya hari ini hatiku tenang, jiwaku tenteram dan pikiranku santai … !!!”
“Apa yang membuat pernikahanmu menyusahkanmu?” tanyaku kepadanya pura-pura tidak tahu.
“Siapa lagi kalau bukan si dia, perempuan itu!!!” jawabnya masih dengan nada marah.
“Engkau maksudkan istrimu??!!” komentarku asal-asalan saja.
“Betul sekali” sergahnya.
“Apa lagi yang engkau keluhkan darinya??” komentarku mencoba menyabarkannya.
“Boooanyaaak lah!!!” tanggapannya.
“Maksudmu, yang Antum keluhkan darinya jauh lebih banyak dari yang memuaskan dirimu??” tanyaku masih berlagak bodoh terhadap semua yang telah diungkapkannya.
Ia angguk-anggukkan kepalanya berkali-kali tanda setuju terhadap pernyataanku yang terakhir.
“Barangkali engkau mengeluhkan tentang ketidaktundukannya kepadamu?” pancingku kepadanya.
Ia menatapku dengan cepat dan memandangiku secara mendalam: “tepat sekali” katanya.
“Air matanya langsung bercucuran saat engkau mendebat atau membantahnya??” pancingku lebih lanjut.